Rabu, 21 April 2021

"Kisah Tanalin"

 

Terkadang, hidup memang tidak selalu sejalan dengan apa yang kita harapkan dan impikan. Adakalanya hidup yang kita jalani kadang terasa sulit. Ingin menyerah namun masih banyak hal yang pantas untuk di perjuangkan. Di moment-moment  tertentu mungkin kita juga pernah mengalami saat-saat dimana kita merasa bahwa kita adalah manusia paling beruntung di bumi ini, merasa bahwa tuhan benar-benar baik. Memberi kebahagiaan dan banyak cinta untuk kita. Beginilah kehidupan, merasa bahagia dan sedih dalam satu waktu. Hidup mengajarkan kita banyak hal. Mulai dari pahit manisnya yang harus kita cicipi satu persatu, jatuh bangunnya yang selalu menuntut kita untuk tetap berdiri tegak apapun rintangannya.

Namaku Tanalin, hidup selama 15 tahun mengharuskanku untuk selalu bersyukur karena tuhan benar-benar baik telah memberikanku kesempatan untuk merasakan banyak sekali kebahagiaan di bumi ini. namun, belakangan ini aku merasa bahwa tuhan sudah tidak mau lagi memihak kepadaku. Semua yang terjadi di dalam hidupku terasa sangat menyakitkan. Berawal dari perceraian kedua orangtuaku 2 bulan yang lalu. Pernah sekali aku bertanya pada ibu apa yang membuatnya ingin berpisah dari ayah, dan ibu hanya menjawab.

“ayah dan ibu sudah tidak cocok lagi. Makanya harus pisah. Ayah melakukan kesalahan yang benar-benar membuat ibu menyerah”. Ucap ibu dengan mata yang berkaca-kaca waktu itu. Sejujurnya aku memang tidak mengerti apa yang telah diperbuat oleh ayah sampai-sampai ibu meminta cerai. Tapi, aku merasa apa yang telah dilakukan ayah memang benar-benar membuat ibu kecewa.

Perpisahan keduanya mengharuskan aku dan kedua adikku berpisah. Aku terpaksa harus tinggal dengan ayah, sedangkan kedua adikku di bawa pergi oleh ibu yang saat ini aku tidak tau lagi dimana keberadaannya. Satu hal yang aku ingat waktu itu, ibu sempat mengatakan bahwa ia akan pindah ke rumah eyang di Jogja.

Kini, 1 tahun sudah ibu meninggalkanku. Jujur aku sangat merindukan ibu. Bukannya aku tidak suka tinggal dengan ayah. Namun, ada beberapa hal yang tidak bisa ayah lakukan sebaik ibu. Aku benar-benar merindukan keluarga yang utuh seperti dulu.

Beberapa bulan kemudian, hal yang aku takutkan terjadi. Ayah mulai sering membawa wanita lain kerumah. Ayah bilang wanita itu adalah calon ibu baru untukku. Sungguh, aku benar-benar tidak menginginkan hal ini. aku takut setelah ini ayah berubah, aku takut ayah lebih mementingkan wanita itu daripada aku. Dan satu hal lagi, aku tidak ingin ada orang lain yang menggantikan posisi ibuku dirumah ini. tapi, ayah sama sekali tidak mau mendengar ucapanku. Ayah selalu mengatakan hal-hal yang sama sekali tidak mau aku dengar.

“kamu tenang aja tan, wanita itu baik kok. Dia akan mengurusmu, memasakanmu makanan enak dan mengajakmu jalan-jalan” rayu ayah kepadaku.

Tanpa mendengar penolakan dariku, akhirnya ayah tetap melangsungkan pernikahannya  dengan wanita yang sekarang sudah menjadi ibu tiriku. Ia sudah mulai tinggal bersama kami. Dan kalian tahu? Ternyata wanita ini memiiki seorang anak laki-laki dari mantan suaminya dulu dan sepertinya umur anak ini lebih muda dariku. 

Sehari dua hari menjalani kehidupan dengan keluarga baru, semuanya tampak biasa saja. Awalnya kukira ibu tiriku ini baik, tidak seperti sosok ibu tiri menyeramkan seperti yang orang-orang katakan. Lambat laun, semuanya mulai terlihat, aku merasa perlakuannya padaku mulai berubah. Setiap kali berhadapan denganku, ekspresi wajahnya selalu memperlihatkan seperti tidak menyukaiku. Ia juga mulai memperlihatkan sifat pilih kasihnya padaku. Setiap libur sekolah ibu tiriku selalu membawa anaknya berjalan-jalan, sedangkan aku hanya berdiam diri dirumah. Tak jarang pula tanpa rasa bersalah ia menyuruhku untuk membereskan pekerjaan rumah yang belum sempat ia selesaikan. Dan parahnya lagi, ayahku seperti tidak mempermasalahkan perlakuan ibu tiriku terhadapku. Ayahku seperti sudah tertutup mata dan hatinya oleh semua sikap manis yang wanita itu berikan.  Bahkan pernah sekali, ibu tiriku menjelek-jelekkanku didepan ayahku dan yang membuatku sangat terpukul, ayahku malah memarahiku habis-habisan, ayah begitu mudahnya mempercayai semua yang wanita itu katakan. Kadang aku suka berpikir ingin kabur dari rumah pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini.atau mungkin aku bisa pergi menemui ibu di Jogja. Ibu pernah membawaku kesana saat liburan akhir tahun untuk menemui eyang, jadi sedikit banyaknya aku masih ingat jalan untuk menuju kesana.  Namun, sekali lagi aku mencoba meyakinkan diri bahwa masih ada tanggung jawabku disini yaitu sekolah dengan benar dan bisa melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Itulah impianku.

Setelah kerja kerasku dan kesungguhanku dalam belajar, akhirnya aku bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Dan yang paling membanggakan aku diterima di salah satu universitas favorit yang sejak dulu aku impikan. Namun ucapan ayah saat itu benar-benar membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya.

“tan, sepertinya kamu gak bisa lanjut ke perguruan tinggi”

“loh, kenapa yah? Selama ini tana sudah sungguh-sungguh. Tana belajar mati-matian supaya bisa masuk universitas” ucapku syok. Tak terasa aku mulai menangis. Bisa dibayangkan betapa kecewanya aku terhadap ayah. Disaat dunia perkuliahan sudah didepan mata, ayah tega menghancurkan semuanya. Membunuh semua harapan yang sudah aku bayangkan jauh-jauh hari.

“adik tirimu mau masuk SMA yang ada asramanya jadi tabungan ayah tidak cukup kalau harus membiayai kalian berdua. Sekolah asrama kan mahal tan” ucap ayah terlihat putus asa.

“ayah dengan mudahnya menuruti kemauan anak itu. Lagian dia masih SMA yah, kenapa harus memilih sekolah yang terlalu mahal. Aku ini anak ayah, anak kandung ayah!” bentakku.

Aku semakin menangis sejadi-jadinya, meneriaki ayahku sampai tenggorokanku sakit rasanya. Tapi aku tidak peduli, hatiku jauh lebih sakit. Bagaiman bisa ayah lebih memilih anak tirinya dibandingkan aku?

Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengemasi barang-barangku. Ya, satu-satunya pilihanku adalah menemui ibu di jogja. Kuhitung uang tabunganku selama ini semuanya ada sekitar 500.000 rupiah. Padahal uang ini adalah tabungan untuk keperluan kuliahku nanti. Tapi apa mau dikata, rencanaku untuk bisa kuliah sudah pupus. Kulangkahkan kaki keluar dari kamarku untuk segera menuju terminal. Kulihat wajah ayah sejenak, mungkin bisa kutebak ayah sangat merasa bersalah kepadaku karena ia tidak bisa menepati janjinya untuk bisa menyekolahkanku sampai ke perguruan tinggi. Berkali-kali ayah memanggilku

“tan..tan kamu mau kemana? tolong mengertilah posisi ayah sekarang ini. tunggulah sampai adikmu tamat SMA ya” mohon ayah padaku. Mendengar ucapan ayah, kuputuskan untuk berhenti sejenak dan membalikkan badanku untuk menghadap ayah.

“apa selama ini tana kurang mengerti ayah? Ayah selalu mengutamakan anak itu dibanding tana. Kadang tana bingung, siapa sebenarnya anak kandung ayah? Tana atau anak itu. Bahkan ayah selalu memarahi tana tanpa alasan yang jelas. Ayah lebih mendengarkan ucapan wanita itu dibanding tana” sambil menangis aku terus mengeluarkan apa yang selama ini aku pendam. Aku berharap semoga setelah ini ayahku bisa lebih terbuka lagi pikirannya bahwa selama ini, ibu tiriku lah yang memulai semua permasalahan dirumah ini.

Sepanjang ucapanku, ayahku hanya bisa tertunduk dan diam. Seperti memikirkan sesuatu. Setelah kutarikkan nafas panjang, kuputuskan untuk kembali melangkahkan kaki meninggalkan rumah ayah.

“tan.. ayah mohon jangan pergi”

“oh  satu lagi yah, jangan pernah menyebut anak itu adalah adik tana karena dia bukan adikku” ucapku sambil menunjuk wajah adik tiriku. Bagaimana bisa dia memasang wajah santainya disaat seperti ini? dasar anak dan ibu sama-sama licik.

Setelah sekitar  satu setengah jam perjalananku, akhirnya aku sudah duduk didalam mobil bus yang akan membawaku ke tempat ibu dan adikku tinggal. Mungkin aku membutuhkan beberapa jam untuk bisa sampai disana. Ini adalah pertama kalinya aku pergi menggunakan bus sendirian. Dulu, selalu ada ibu dan ayah disampingku. Setelah sekian lama aku tidak pernah lagi bepergian menggunakan bus akhirnya hari ini aku menaiki bus. Walaupun ada yang berbeda, yaitu kali ini aku sendirian. Tanpa ayah dan ibu pastinya. Sepanjang perjalanan aku terus saja kepikiran apa yang akan terjadi kepada ayah setelah kejadian tadi? Apakah ia menyesal? Apa mungkin ia menyadari semua perilaku ibu tiriku itu? Entahlah. Mungkin saat ini ibu tiriku sedang tersenyum bahagia mengingat detik-detik kehancuranku tadi.

Aku juga memikirkan ibu. Bagaimana kira-kira reaksinya nanti saat melihatku berdiri didepan rumah eyang?. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu ibu, apakah ibu semakin bertambah tua? Ibu aku benar-benar merindukan ibu, apakah ibu juga merindukanku? Hah, air mataku mengalir lagi. Memikirkan ibu selalu mampu membuatku mengeluarkan air mata. Tapi, aku rasa kali ini air mata yang jatuh adalah air mata bahagia karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan sosok yang selama ini benar-benar aku rindukan.

Setelah perjalanan dari Jawa timur ke Sleman,Yogyakarta kutempuh. Akhirnya sampailah aku disini, di depan rumah eyang. Kulihat rumah eyang masih sama seperti yang kulihat terakhir kali.  masih terasa nyaman,banyak tanaman-tanaman hijau didepannya yang sangat memanjakan mata. Dan tiba-tiba saja aku melihat Ahza dan Afrin disana. Mereka adalah adikku. Ibu benar-benar mengurus mereka dengan baik. Terlihat dari pertumbuhan mereka yang semakin tinggi dan sehat. Tanpa menunda lagi aku segera berlari menghampiri mereka berdua.

“Ahza..Afrin..”panggilku pelan

Mereka pun menoleh,menatapku agak lama lalu menghambur ke pelukanku.

“kak tana, kami kangen kakak”ucapan mereka lagi-lagi membuatku menangis, aku benar-benar merindukan suara mereka. Tanpa kusadari sedari tadi ibu menatapku dengan mata yang berkaca-kaca dengan senyuman kecil yang tercetak di bibirnya. Setelah melepaskan pelukan kedua adikku, langsung saja aku memeluk ibuku dengan erat. Tidak peduli apakah saat ini ibu sesak napas karena pelukanku terlalu erat. Aku hanya ingin ibu tau bahwa aku sangat merindukannya.

“tana kok bisa ada disini nak? Dimana ayah?” tanya ibuku sedikit panik.

Akhirnya ibu memutuskan untuk mendengar semua ceritaku.ibu menuntunku untuk masuk ke dalam rumah eyang. Ibu juga membuatkan segelas teh hangat untukku. Setelah menyesap sedikit teh hangatku, akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi padaku. Mendengar ceritaku ibu malah menangis sesenggukan katanya ibu sangat menyesal telah meninggalkanku.

“ibu salah, ibu enggak pernah ninggalin tana. Ibu selalu ada di hati tana. Tana sadar mungkin memang inilah jalan yang harus keluarga kita tempuh. Tana gak pernah menyalahkan ibu dan ayah. Perceraian mungkin emang jalan terbaik buat ibu dan ayah. Dan tana minta maaf kalau selama ini tana belum bisa jadi anak yang baik”

“ibu yang harusnya minta maaf karena tidak bisa menyekolahkan tana sampai ke perguruan tinggi, maaf karena kuliahmu harus tertunda. Ibu janji tahun depan kamu pasti bisa kuliah nak. Ibu janji”

“gak papa kok bu kalo tana gak kuliah, yang penting tana udah bareng sama ibu dan adik-adik. Oiya, tana juga bisa bantu ibu berkebun kan” Ibu hanya tersenyum sambil mengelus-elus puncak kepalaku. Walaupun masih ada sedikit rasa kecewa karena tidak bisa melanjutkan sekolah sampai ke universitas. Tapi aku tetap bahagia bisa bertemu ibu lagi. Toh, masih ada tahun depan untuk melanjutkan pendidikanku ke universitas.

Selama tinggal di Jogja ternyata ibu lebih memilih berkebun, mulai dari menanam sayuran dan lain-lain. dan penghasilan yang didapatkan ibu juga sudah cukup untuk menghidupi kami. Aku juga sangat senang karena aku juga bisa membantu menambah penghasilan dengan bekerja paruh waktu disebuah warung nasi yang tidak jauh dari rumah. Setiap kali pulang kerja aku selalu menyempatkan diri untuk bisa membantu ibu dikebun.

Tak terasa penerimaan mahasiswa baru pun dimulai. Syukurlah aku diterima di salah satu universitas ternama yang ada di Jogja. Ibu sangat gembira saat aku pulang sambil membawa kabar gembira tersebut. Kerja kerasku dan ibu selama ini tidak sia-sia. Akhirnya aku bisa kuliah. Terimakasih juga tuhan karena sudah membuat skenario sehebat ini untukku. Berkat campur tangan engkau semuanya menjadi sebahagia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Fokus Pada Satu Hal

       Kemarin ketika saya mencoba untuk beristirahat pada malam hari, tiba-tiba saja saya terlintas ingin membuka usaha kecil-kecilan thr...